Di satu sisi saya ada penyesalan ketika melihat Sajama Cut. Bahwa mereka sebenarnya bisa sebesar band-band seangkatannya seperti WSATCC atau Seringai. Materinya sama-sama bagus, tapi mungkin branding dan manajemen nggak, atau bukan, prioritas utama Sajama Cut.
Di sisi lainnya, saya juga melihat Sajama Cut memang sudah tepat begini. Mereka adalah bukti kalo musik bisa berdiri sendiri tanpa harus berkoar keras di digital. Meski nggak bejibun, fansnya selalu ada dan bisa dibilang setia. Toh, buat apa juga punya seribu fans tapi cuma hafal Less Afraid, kan?
Apalagi kalo menilik dari segi pengaruh yang tersebar. Meski kayaknya Marcel kurang setuju, tapi saya memandang Sajama Cut layaknya Big Star atau Pixies. Your favorite band’s favorite band. Di setiap fase Sajama, selalu muncul band baru yang menyebut mereka dalam interview.
Dan mereka nggak terbatas pada indie rock dan sejawatnya. Pop solois favorit kamu? Band alt rock yang sekarang rame? Vokalis death metal? Influence Sajama nyantol ke mana-mana kok.
“Pas pertama denger ‘Less Afraid’, gua ngerasa ada attitude yang gabisa dibeli dan ditiru sama band lain,” kata Rayhan Noor “Lomba Sihir”. “Ada nyelenehnya yang bikin gua nengok. Edge-nya itu yang jadi salah satu reference gua dan Lomba Sihir untuk bermusik.” Edginess yang disebut itu nggak sekedar ukuran ngasal, band lain juga merasakan hal yang sama. Pada dasarnya, Sajama ‘nyeleneh’ dari komposisi lagu yang ngetren (dan jadi klise) di masa itu.
“Pertama kali denger pas SMA tuh kirain lagu Barat, soalnya waktu itu lagu dengan aransemen seperti mereka tuh jarang,” kata Korongmentah “Muchos Libre”. Jujur, saya pun baru sadar besarnya pengaruh band ini ketika Marcel minta buat bikin liner notes, dan dirinya menyebutkan band-band yang berpartisipasi. Seketika langsung teringat ketika nama Sajama disebut di album live Semakbelukar, dan betapa seringnya saya melihat Daniel “DeadSquad” dan Arian “Seringai” di gig SC.
“Saya salut akan produktivitas mereka dalam berkarya dan banyak improvisasi aransemen sama sound kalo manggung,” kata Daniel. “Mereka band indie rock gelombang kedua yang masih eksis dan konsisten sampe sekarang.” Para musisi di album ini juga turut setuju. Bagi mereka, keeksisan dan konsistensi Sajama bukan keberuntungan semata, tapi ada formula jeniusnya.
“Sajama Cut tuh… anjing, meskipun lagunya enak di telinga, tapi liriknya itu pedes dan pedih. Kejeniusan mereka terletak di kontras antara keduanya itu,” kata si perintis delta blues Indonesia, Adrian Adioetomo.
Kadang beberapa emang sampe harus berkata kasar buat nunjukin rasa kagum mereka. “Permainan kata-kata Marcel di liriknya tuh ga kepikiran, dan ada sisi surealismenya juga yang bikin gua kayak… anjing,” kata Haikal Azizi a.k.a. Bin Idris.
Terlepas dari lirik, melodi dan komposisi Sajama termasuk yang paling memikat untuk sejumlah gawangan indie rock masa kini. “Pertama kali dengerin mereka di album Manimal. Dan track pertama ‘Painting Paintings’ tuh
megah dan bertekstur. Kaga ada lagi selain Sajama Cut yang bikin musik seperti itu,” kata Xandega “Polka Wars”
Jadi, dengan influence mereka yang bertebaran, saya pikir nggak perlu heran ketika ada band bermacam genre mau membawakan lagu Sajama Cut. Setiap album yang dirilis oleh Marcel co. memang punya warna tersendiri. Satu dari banyaknya karya SC pasti ada yang bisa memikat hati. Nggak cuma dari musik, tapi artwork dan lirik juga. Ketika lo nggak nyambung di Godsigma, lo mungkin bisa lebih terkoneksi di Hobgoblin atau bahkan Apologia. Tapi seenggaknya, di setiap album lo bakal tergugah sama cara mereka mengemas musiknya.
“Selain lagunya, yang paling gua kagumi adalah gimana mereka mempresentasikan karya mereka, lewat artwork, video, packaging, dan bentuk visual lainnya. Gua belajar banyak dari Sajama tentang hal ini,” kata Sal Priadi.
Seperti sebuah warung legendaris yang cuma tersebar dari mulut ke mulut, dari pejabat hingga pelajar bisa mencintainya dan nggak ada yang meragukan kualitasnya. Begitulah Sajama Cut menggenggam dunia dan memang sudah selayaknya sebuah tribute diberikan.
Ditulis oleh Alvin Bahar.