Jelang penghujung tahun, tepat pada 1 November 2019, kugiran asal Yogyakarta,
Kota & Ingatan merilis single bertajuk “Setiap Musim di Tanah Kami.”
Catatan berdurasi lima menit, empat puluh satu detik ini dapat disimak melalui kanal
Youtube dan berbagai platform digital band yang digawangi Herda Mukti Setiyawan
(gitar), Addie Setyawan (bass), Maliq Adam (gitar), Aji Prasetyo (drum) dan Aditya
Prasanda (pelafal teks) tersebut.
Setiap Musim di Tanah Kami, merupakan hasil “kerja bersama” Kota & Ingatan dengan banyak teman yang turun ke jalan selama mengikuti aksi massa
#reformasidikorupsi. Kurang lebih satu bulan, Kota & Ingatan mengumpulkan
footage dan teks yang tersebar dari aksi demonstrasi paling masif pasca reformasi
tersebut.
“Seluruh teks dalam catatan ini dihimpun dan digubah dari poster aksi teman-teman
demonstran #reformasidikorupsi. Pun sebagian besar footage dalam catatan ini
merupakan hasil tangkapan beberapa teman yang turun ke jalan selama aksi
berlangsung,” papar Aditya Prasanda, pelafal teks kelompok musik yang berdiri sejak
paruh awal 2016 ini.
Dalam praktiknya, melalui aba-aba di media sosial, Kota & Ingatan bekerja bersama
videografer, Nerpati Palagan, mengumpulkan footage hasil kiriman secara sukarela
beberapa demonstran yang mengikuti aksi #reformasidikorupsi. Footage tersebut
kemudian dihimpun bersama aneka footage lain yang menangkap beragam
ketegangan sebelum dan sesudah reformasi.
Sementara di departemen teks, Kota & Ingatan mengumpulkan tulisan dari beragam
poster aksi demonstran yang tersebar di media sosial. Bagi mereka, poster aksi
bernada satir nan nyeleneh tersebut tak bisa dianggap sebelah mata sebab memiliki
pernyataan sikap yang sangat kuat dan relevan dengan hari ini.
“Sekilas, cara menyatakan pendapat demonstran di generasi kita: generasi milenial
dan Z yang tumbuh pasca reformasi, tampak lebih nyeleneh dan santai. Poster aksinya
tidak setegang saat Soeharto dilengserkan. Wajar, sebab zaman terus bergerak.
Namun jangan pernah anggap remeh yang santai dan nyeleneh, sebab ada pernyataan
sikap yang begitu menggigit di sana,” terang Aditya Prasanda.
Aditya melanjutkan, “Meski tidak dapat semua dirangkum, saat kumpulan nada-nada
protes tersebut dilagukan, tak menutup kemungkinan bisa jadi lebih efektif, baik
sebagai arsip zaman maupun kumpulan kebisingan yang mengganggu siapa pun yang
tidak siap dengan kritik tersebut. Sebab pada dasarnya, banyak orang sudah muak
dengan politik berbagi kekuasaan, Orba kemasan baru.”
Saat Kota & Ingatan merilis “Setiap Musim di Tanah Kami”, Indonesia belum
beranjak dari status “darurat demokrasi”. Kebebasan demokrasi kian terancam
mengingat para aktor pelanggar HAM saling berbagi tempat di kursi pemerintahan.
Sementara YLBHI mencatat, selama periode Januari hingga Oktober 2019, terdapat
78 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat di Indonesia, di mana 51 korban di
antaranya meninggal dunia. Operasi pembebasan lahan yang berpihak pada
kepentingan investor pun masih terus berjalan.
Di lain tempat, RUU belum sepenuhnya dibatalkan. Pada perpanjangan tangan
kekuasaan baru, tidak menutup kemungkinan pasal-pasal tak masuk akal akan
kembali merongrong keseharian.