Setelah merilis dua single sekaligus musik video sebelumnya, “Pulang Rumah” pada
2017 dan “Bunga Kertas” di tahun 2018, kelompok musik pop-folk asal Surabaya, Layung
Temaram resmi merilis album debutnya yang bertajuk “TANIN” di berbagai digital music
platform seperti Spotify, JOOX, Deezer, dll. Pada tanggal 30 Agustus 2019.
Ya, tiga tahun memang merupakan waktu yang cukup lama bagi sebuah grup musik
untuk menelurkan sebuah album maupun EP pertamanya, namun hal itu justru membuat
Layung Temaram yakin bahwa dalam segi materi, rilisan yang akan mereka lepas sudah
memiliki “tingkat-kematangan” yang tepat. Pada jeda waktu yang cukup lama tersebut band ini juga bukannya hanya berleha-leha atau terlena pada kegiatan workshop materi album saja, Layung Temaram yang berisikan Danu, Fazar, Galang, Riris dan Verin selalu disibukkan dengan gigs hampir di setiap akhir pekan.
“TANIN”, akan muncul penjelasan-penjelasan yang agak membuat kepala pening
jika kita memasukkan kata kunci tersebut pada mesin pencarian di internet, lalu filosofi apa yang sebenarnya ingin mereka bawa pada album debut Layung Temaram ini? Kalau di jelaskan secara singkat, tanin merupakan sejenis senyawa yang tersebar pada banyak jenis flora di dunia dan saat ini banyak digunakan di ranah kedokteran untuk dijadikan obat-obatan, tapi siapa sangka pada zaman dahulu saat ilmu kedokteran belum seperti sekarang, senyawa ini justru dianggap beracun dan berbahaya. Jadi intinya, semua hal buruk yang dihadapi manusia selama hidup, bisa saja menjadi bermanfaat bagi para insan tertentu yang memiliki cara sendiri dalam menyikapi dan bersudut pandang.
Pada album “TANIN”, total terdapat sepuluh track yang akan mengajak para pendengarnya bertualang ke dunia musikal milik Layung Temaram dan sedikit memaksa untuk menghapuskan hegemoni musik folk yang kental akan unsur syahdu di beberapa track, coba simak “Kudeta” di album ini, hampir sama sekali tidak terlihat adanya komponen musik folk yang pada umumnya cenderung mendayu, di lagu “Pagi Hitam” musik yang hingar bingar juga begitu menonjol hingga seakan Fazar memang sengaja diizinkan untuk “menghambur” drum-set seekspresif mungkin.
Layung Temaram juga menggaet beberapa musisi lain untuk berkolaborasi dalam album
ini, seperti Roni Udara “Rubah di Selatan”, Monzy “the Flins Tone”, Bimantara “Timeless”, dan Qanita Nitnot “Humi Dumi”. Tidak semua berada dalam naungan genre yang sealur memang, tapi apalah arti aliran jika hanya dijadikan alasan untuk memoles tembok yang selama ini kita sebut dengan “batasan”.